Medan-Skalanews | Peristiwa konflik Rempang yang terjadi di Negeri Betuah, negeri yang menorehkan jalan panjang sejarah bangsa Melayu di semenanjung Malaka, tepatnya di Pulau Rempang, Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau, yang sejak seminggu terakhir hampir menghiasi seluruh wajah pemberitaan, baik lewat media elektronik, cetak maupun online, bahkan secara masif berbagai aksi perlawanan masyarakat Pulau Rempang tersajikan lewat platform media sosial.
Konflik ini terjadi sejak disepakatinya kerjasama investasi sebesar 381 triliun rupiah, proyek Rempang Eco City yang berasal dari Tiongkok, mengakibatkan sebanyak 16 kampung Melayu yang ada di pulau Rempang dan Galang, terkena imbas proyek raksasa tersebut.
Akibatnya, terjadi penolakan dari masyarakat atas investasi tersebut yang oleh pemerintah lewat Kementerian Investasi sudah menyepakati kerjasama investasi di bidang pembuatan kaca terbesar untuk jangka waktu 80 tahun lamanya.
Adanya perlawanan dari masyarakat sekitar pulau yang terkena imbas proyek raksasa tersebut, hingga saat ini masih terjadi konflik yang melibatkan masyarakat, aparat TNI-Polri, pada konflik yang seharusnya tidak terjadi.
Salah seorang putra Melayu Langkat Sumatera Utara, turut memberikan tanggapan atas terjadinya konflik tersebut, bahkan menurut tokoh muda Melayu ini, ada hal yang tidak tersampaikan secara objektif, terkait proyek dan masyarakat adat yang ada, sehingga memicu terjadinya konflik.
“Saya rasa ada yang salah terkait pola komunikasi yang dibangun antara pemerintah daerah (Kota Batam), investor dan masyarakat adat, sehingga menyebabkan terjadinya peristiwa ini,” ujar Masdar Tambusai,SAg kepada media, Selasa (12/9/2023) di Medan.
Menurut aktivis dakwah dan dai ini, hal menyebabkan terjadinya peristiwa ini dikarenakan adanya ketersinggungan warga masyarakat, atas rencana investasi yang akhirnya berimbas kepada masyarakat yang sudah hidup secara turun-temurun di pulau Rempang.
“Ada pola komunikasi yang keliru tersampaikan lewat media, atas berbagai pernyataan pemerintah daerah, seperti mengatakan bahwa masyarakat yang menghuni pulau Rempang dan pulau Galang merupakan pendatang dan Pulau Batam daerah khusus oleh pemerintah pusat, sehingga sewaktu-waktu bisa diambil dan lainnya.
Inilah yang membuat masyarakat pulau Rempang dan Pulau Galang tersinggung dan pada akhirnya menimbulkan penolakan atas rencana investasi tersebut, dan akhirnya masyarakat berhadapan dengan TNI dan Polri yang semestinya tidak dalam lingkaran konflik yang saling berhadapan,” sambung pendidik ini menegaskan.
Atas peristiwa ini, menurut Masdar Tambusai, memunculkan semangat baru dari bangsa rumpun Melayu di seluruh Nusantara yang merasa tidak diperlakukan secara adil.
“Kita berharap Presiden Joko Widodo bisa bersikap bijak sebagai seorang negarawan, apalagi ini sudah memasuki tahun politik, maka implikasi atau bias politiknya semakin terbuka, sehingga beragam narasi dan diksi politik semakin menguat, kita khawatir peristiwa ini akhirnya dimanfaatkan para aktor politik untuk sekadar mencari panggung politik, dan objeknya masyarakat pulau Rempang.
Saya yakin, presiden mampu memberikan solusi terbaik atas peristiwa ini, investasi penting dan keadilan, kondusivitas itu jauh lebih penting guna menjaga persatuan dan persaudaraan kebangsaan kita yang sudah semakin baik ini,” ujar Masdar di akhir wawancara. * SN-AS