Opini  

Maraknya Begal dan Kegagalan Pendidikan Moral

Maraknya Begal dan Kegagalan Pendidikan Moral
Ilustrasi Begal (Foto: Ist)

Oleh : Amirsyam

Maraknya begal yang terjadi dalam kurun 3 tahun terakhir ini begitu memperihatinkan. Sadis, bengis dan tanpa ampun. Korban demi korban berjatuhan tidak pandang usia, agama, suku dan status sosial lainnya. Kriminalitas yang terjadi di sekitar kita yang trend hingga saat ini yaitu Begal.

Begal muncul dan sekarang menjadi momok yang menakutkan bagi seluruh masyarakat, bahkan aparat sendiri pun harus berpikir ulang jika bepergian sendiri. Artinya, maraknya aksi kejahatan begal ini tidak ada lagi hukum yang berlaku, norma sosial diabaikan dan yang ada di pikirannya bagaimana mendapatkan uang walaupun dari jalan yang salah.

Setelah ditelusuri, para pelaku begal yang tertangkap pihak Kepolisian relatif masih berusia muda bahkan berstatus siswa menengah pertama hingga atas, tidak tertutup juga pelakunya ada berstatus mahasiswa.

Dari beberapa Polsek yang kita temui dan bertanya langsung ke para pelaku begal, ternyata mereka masih bersekolah baik tingkat SMP dan SMA. Pertanyaannya bagaimana sikap seorang siswa terpelajar mau melakukan tindakan kriminal yang di luar batas perikemanusiaan dengan mudahnya membunuh dan merampas hak orang lain dengan cara sadis?

Siapakah yang salah? sekolahkah, gurukah, Orang tua atau lingkungan sekitar. Inilah beban pertanyaan yang sangat mendasar sekaligus keprihatinan.

Rendahnya Pendidikan Moral inilah salah satu persoalan dunia pendidikan kita. Orientasi pendidikan kita hanya bertumpu pada knowledge. Guru tidak lagi sebagai pengganti orang tua saat di sekolah.

Kita paham, bahwa posisi guru saat ini terhimpit pada persoalan klasikal yaitu takut sebagai tersangka jika melakukan hal-hal yang dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) pada siswanya, dan berpotensi menjadi kasus hukum.

Inilah problematika dunia pendidikan kita. Satu sisi guru dan sekolah dituntut menjadi laboratorium moralitas siswa, namun sisi lain guru tidak dijamin perlindungan secara hukum.

Guru dan sekolah saat ini hanya sebuah etalase yang hanya menampilkan juara yang bersifat knowledge, namun minim moralitas.

Kita berharap pesan-pesan moral tersampaikan secara masif di sekolah, punishment bagi siswa yang bermasalah harus ditegakkan dalam rangka mendidik, bukan menghukum.

Ada nilai edukasi yang bisa disampaikan lewat ruang-ruang belajar. Gap sosial ekonomi juga menjadi alasan normatif atas terjadinya kejahatan tersebut. (Sebuah catatan saja)

* Penulis adalah Jurnalis Skalanews